Krisis Ekologi: Sebuah Masalah Global
Alam dan manusia adalah dua komponen yang mempunyai hubungan dialektis yang sangat erat. Manusia pada hakikatnya bergantung pada alam dan sudah ditugaskan oleh Allah untuk menempati dan “menguasai” alam raya. Manusia pun didaulat oleh Allah untuk mengelola dan melestarikan alam. Karena itu, sejak awal mula, alam bukan dilihat sebagai “obyek” yang mesti dikuras dan dirusakkan oleh karena keserakahan manusia. Manusia mesti membangun solidaritas yang harmonis dengan alam sebagai “subyek” yang menaungi kehidupannya.
Dalam perjalanan sejarah, obyektifikasi atas alam telah menjadi lembaran hitam dalam ziarah peradaban manusia. Bahkan cerita tentang pengrusakan atas alam masih nyaring terdengar hingga saat kini dengan intensitas yang semakin menggila. Manusia se-mau gue– mengobyekkan alam, mengeksploitasi dan merusakkan alam demi memuaskan napsu besarnya untuk menguasai jagad raya. Obyektifikasi atas alam merupakan ekses dari cara berpikir dikotomis-cartesian yang menjadi trend pada suatu zaman. Alam adalah obyek yang mesti dikuras isinya, bukan subyek yang perlu dipelihara kelestariannya. Cara pandang ini sudah out of date ketika kita menjejakkan kaki di zaman sekarang. Kendati sudut tilik atas alam ini sudah kadaluarsa, namun perilaku manusia hic et nunc terkadang tidak sepadan dengan cara berpikirnya yang selaras zaman. Di zaman sekarang, kita tidak sulit menemukan kecongkakan manusia dalam mengeksploitasi alam/lingkungan. Tindakan pengrusakan itu mulai dari skala global (makro) sampai pada skala lokal (mikro) yang menunjukkan sisi lain napsu manusia untuk menaklukan alam semesta. Dampak langsung dari ulah manusia ini adalah krisis ekologi yang kian terasa belakangan ini.
Krisis ekologi berdampak pada terganggunya keseimbangan ekologi, yang mengancam eksistensi manusia sebagai pelaku utama dalam ekologi. Dengan terganggunya keseimbangan ekologi, maka kemampuan alam untuk produksi menurun, sementara itu di saat yang bersamaan kebutuhan manusia terus meningkat seiring dengan pertumbuhan populasi (over population). Akibatnya, alam menjadi rusak, sebab manusia terus memanfaatkannya tanpa ada usaha pemulihan kembali. Efek samping dari kerusakan tersebut adalah timbulnya bencana alam yang menelan banyak korban, baik fisik maupun material, bahkan berdampak pada mental manusia. Banjir, tanah longsor, kekeringan dan kebakaran hutan merupakan beberapa dari sekian banyak bukti kelalaian manusia dalam mengelola alam.
Menatap Konteks Lokal: Realitas Timor Barat
Sebagaimana diketahui bahwa wilayah Timor Barat – seperti juga berbagai daerah lain di NTT – merupakan lahan kering dan relatif tandus, terdiri dari tanah berkapur dan berbatu-batu dengan topografi berbukit-bukit. Hanya sebagian kecil lahan yang tergolong subur dan mempunyai sumber air irigasi. Jumlah curah hujan di wilayah ini di bawah 1000 mm. Hari hujan juga tercatat sangat pendek, hanya berkisar 3 – 4 bulan (November – April) musim hujan dan selebihnya adalah musim kemarau berkisar 8 – 9 bulan (April – Oktober) setiap tahun. Kondisi alam seperti ini mempengaruhi pola bertani pada mayoritas masyarakat petani di wilayah ini. Pola pertanian yang diandalkan di wilayah Timor Barat adalah tebas bakar dan ladang berpindah-pindah setiap tahun. Masyarakat melakukan tebas bakar karena ingin mendapatkan lahan baru yang relatif subur. Itu sebabnya mereka selalu berpindah hampir setiap tahun karena pada lahan yang sama mereka sulit mendapatkan hasil yang sama atau lebih tinggi dari musim tanam sebelumnya akibat menurunnya kesuburan lahan. Lahan yang ditinggalkan kemudian dibiarkan untuk jangka waktu yang cukup lama (sering disebut dengan istilah mengistirahatkan tanah atau memberokkan lahan) bahkan mencapai lebih dari 10 tahun terutama di masa lalu ketika jumlah penduduk masih relatif terbatas.
Kebiasaan tebas bakar dan kebun berpindah ini juga berkaitan erat dengan orientasi sistem pertanian yang dianut masyarakat Timor Barat. Orientasi utama dalam sistem pertanian mereka adalah pemenuhan kebutuhan pangan (subsisten). Tanaman pangan yang dikembangkan adalah jagung, padi ladang lokal, kacang-kacangan dan berbagai jenis umbi-umbian. Sedangkan tanaman umur panjang seperti tanaman perdagangan maupun kayu-kayuan dikembangkan dalam jumlah yang relatif sangat sedikit.
Bergandengan dengan sistem tebas bakar dan ladang berpindah ini, masyarakat Timor Barat juga memiliki kebiasaan beternak lepas terutama ternak sapi. Artinya, masyarakat yang memiliki sapi membiarkan ternaknya mencari makan sendiri di padang penggembalaan. Hal ini selain dipengaruhi oleh keterbatasan tenaga untuk merawat sapi yang relatif banyak (terutama di masa lalu) juga karena didukung oleh persediaan padang penggembalaan umum (milik desa/komunitas adat) yang relatif luas.
Pola pertanian tebas bakar dan ladang berpindah sudah cukup lama dikeluhkan karena membawa persoalan yang cukup besar bagi petani. Persoalan besar yang ditimbulkan oleh pola bertani tebas bakar dan kebun berpindah adalah menurunnya luas wilayah hutan secara drastis. Hal ini kian diperparah oleh eksodusnya warga Timor-Timur ke Timor Barat akibat gejolak politik yang menerpa bumi Lorosae baik di tahun 1975 maupun tahun 1999. Karena tidak mempunyai lahan pertanian dan tuntutan untuk survive, mereka pun merambah hutan secara serampangan untuk dijadikan areal perkebunan. Akibat lanjutannya adalah hilangnya keanekaragaman hayati, hilangnya sumber-sumber mata air, tingginya tingkat erosi, kekeringan berkepanjangan di musim kemarau dan banjir di musim hujan yang makin parah dirasakan pada beberapa tahun terakhir ini.
Tingkat produktivitas lahan pertanian pun menurun akibat merosotnya kesuburan lahan pertanian karena erosi, serangan hama penyakit tanaman karena berkurangnya keanekaragaman hayati. Seiring dengan persoalan ini, kebiasaan ternak lepas juga berakibat buruk bagi pertanian karena banyak tanaman pertanian dirusak oleh ternak. Padahal pertanian merupakan andalan pokok kehidupan para petani wilayah Timor Barat. Tak pelak lagi, mayoritas penduduk di wilayah Timor Barat akhirnya terjebak/terbelenggu sebagai petani subsisten – ekstraktip yang tetap dililit kemiskinan.
Nimba sebagai Solusi Alternatif
Hutan di wilayah Timor Barat semakin kritis. Lahan pertanian, di mana para petani menggantungkan hidupnya, juga kian tandus. Debit airnya pun semakin menurun dan beberapa sumber mata air mengering. Menyikapi kondisi alam seperti ini, banyak pihak (stakeholders) sudah mengambil prakarsa dan inisiatif untuk mengkonservasi dan merenovasi hutan, tanah dan air yang kian mencemaskan. Upaya yang ditempuh oleh pihak-pihak yang peduli lingkungan belum membawa hasil signifikan karena dilakukan secara sporadis dan tidak sinergis.
Salah satu NGO lokal, tempat di mana penulis bekerja, memilih lingkungan hidup sebagai fokus utama kegiatannya. Pemilihan isu lingkungan hidup sebagai bidang utama kegiatan oleh LSM yang peduli lingkungan ini bukan tanpa sebab. Bertolak dari kondisi hutan, lahan dan kehidupan masyarakat petani Timor Barat yang kian memprihatinkan, sudah waktunya alam tempat hunian manusia direnovasi dan dikonservasi. Untuk mewujudkan impiannya dalam membangun solidaritas dan kepedulian dengan alam, pilihan LSM ini jatuh pada “nimba” (neem), pohon sejuta manfaat, untuk dibudidayakan. Di wilayah Timor Barat umumnya dan Kabupaten Belu khususnya sebagai basis kerja NGO ini, nimba masih tergolong sebuah pohon asing karena kebanyakan masyarakat lebih “akrab” dengan pohon jati, mahoni, dan cendana yang bernilai ekonomis tinggi. Pada beberapa lokasi yang spesifik, nimba berhasil dibudidayakan oleh orang-orang tertentu (para pastor pada lembaga Gereja Katolik) dengan pemahaman yang amat minim akan kemujaraban nimba (sebagai pohon obat-obatan). Sudah pernah diupayakan untuk menggalang kerja sama dengan pemerintah (Dinas Kehutanan) dalam usaha “memasyarakatkan” nimba, namun upaya ini tidak membawa hasil karena pihak pemerintah pun berpendapat bahwa nimba masih merupakan pohon asing. Kendati gagal menjalin kemitraan dengan pemerintah, berkat swadaya NGO tersebut nimba dibudidayakan secara lebih meluas (kendati masih bersifat sporadis) pada beberapa lokasi di Belu (Lakafehan dan bukit Wekiar di Kecamatan Kakuluk Mesak dan desa Aitoun di Kecamatan Raihat). Dan, dalam kemitraan dengan Care International Indonesia (CII) untuk program MIAT (Program Pemberantasan Malaria), nimba pun dibudidayakan pada 12 desa intervensi MIAT sebagai tanaman pengusir nyamuk karena nimba berkhasiat untuk memberantas penyakit malaria yang selama ini dianggap masyarakat sebagai penyakit yang biasa-biasa saja.
Tanaman nimba dalam bahasa latin disebut Azadirachta. Orang Inggris menyebutnya neem. Bangsa Indonesia menamakannya nimba, di samping berbagai nama lokal yang berada di dan dari daerah yang satu ke daerah yang lain, misalnya: intaran (Bali), nimbo (Jawa), mindi (Sunda), Lien Ewi (Bunak), dan lain sebagainya. Ada dua varietas nimba, yakni Azadirachta Indica yang berasal dari India dan Birma (Myanmar), dan Azadirachta Siamensis atau Thaineem yang berasal dari Muangthai. Kedua varietas ini memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Azadirachta Indica dilihat sebagai varietas yang lebih bermutu sehingga lebih banyak dikembangkan sampai sekarang. Sedangkan Azadirachta Siamensis jarang dibudidayakan karena kandungan Azadirachti (zat racunnya) lebih rendah dan daging buahnya sulit dipisahkan dari biji.
Nimba memiliki beberapa sifat yang spesifik dan sangat menguntungkan, serta amat cocok dibudidayakan di daerah beriklim tropis seperti di wilayah Timor Barat. Ciri-ciri tanaman nimba adalah sebagai berikut: berakar dalam dengan daya kerja yang luar biasa, sehingga dapat menampung dan menyimpan air dalam waktu yang lama. Pohon nimba memiliki unsur penangkal panas. Karena itu nimba mampu hidup di daerah tropis. Hal ini ditandai dengan daun yang selalu hijau dan rindang (tidak gugur) meskipun musim panas berkepanjangan. Nimba tahan terhadap pemangkasan dan cepat bertunas kembali bila dipangkas. Sifat ini sangat penting bila dikaitkan dengan manfaatnya sebagai kayu bakar atau pakan ternak untuk keperluan paronisasi. Pohon ajaib ini pun tidak menyukai daerah yang permukaan air tanahnya terlampau dangkal, apalagi daerah yang terlalu becek dan tergenang air (drainase jelek). Nimba mampu tumbuh dan berkembang dengan baik pada tanah salin (berkadar garam tinggi) dan pada tanah asam. Bahkan nimba dapat menetralisir keasaman tanah karena komponen nimba mengandung zat alkaline (pH 8,2).
Tanpa bermaksud meminimalisir kemujaraban nimba sebagai pohon dengan sejuta manfaat, paling kurang ada tiga fungsi/manfaat nimba sehingga urgen dibudidayakan di Timor Barat sebagai tanaman alternatif konservasi alam. Pertama, manfaat ekologis. Nimba merupakan pilihan alternatif untuk mengatasi degradasi lingkungan. Kondisi alam yang dicirikan oleh perubahan musim yang tidak menentu, hutan yang kian kritis, erosi dan banjir, serta debit air yang semakin menurun menuntut upaya konservasi dan renovasi segera dilaksanakan. Untuk itu, nimba dijagokan karena terbukti bisa mengatasi persoalan alam yang terus mencemaskan pada beberapa dasawarsa terakhir ini. Kedua, manfaat ekonomis. Semua bagian pada pohon nimba (dari akar sampai daun) ternyata mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Pohon nimba merupakan kayu kelas satu yang layak dipasarkan, daun dan buahnya pun bisa diolah baik untuk keperluan obat-obatan maupun sebagai bahan baku produksi pasta gigi. Masih banyak contoh produk nimba lain yang bisa diangkat untuk menunjukkan sisi lain kekayaan fungsi ekonomis nimba. Hal ini perlu dikedepankan agar masyarakat tidak merasa kuatir akan kemubasiran budidaya nimba sebab nimba pascapanen bisa diproduksi untuk mendongkrak pendapatan ekonomi masyarakat. Kekuatiran masyarakat akan mubasirnya budidaya nimba juga bisa ditepis karena akses pasar nimba bisa dijangkau masyarakat dan terbukti “laris – manis”. Ketiga, fungsi produksi pertanian. Salah satu kemujaraban nimba yang sesuai dengan kondisi para petani di Timor Barat adalah manfaat nimba sebagai bahan dasar pembuatan pupuk organik dan pestisida. Mayoritas masyarakat Timor Barat bermata pencaharian sebagai petani. Kerapkali produktivitas para petani menurun karena diserang hama penyakit. Pengalaman para petani selama ini membuktikan bahwa memberantas hama penyakit dengan pupuk anorganik bukan solusi terbaik karena menambah masalah di atas masalah. Nimba, karena itu, cocok dibudidayakan sebagai bahan dasar pembuatan pupuk organik dan pestisida untuk meningkatkan produktivitas para petani.
Budidaya nimba merupakan solusi alternatif konservasi alam. Kondisi alam yang semakin tandus dan degradasi lingkungan yang disebabkan oleh pelbagai faktor menuntut penanganan yang cepat demi terciptanya lingkungan yang layak huni. Nimba merupakan solusi alternatif untuk mengembalikan harmoni alam dan lingkungan. Budidaya nimba merupakan solusi alternatif optimalisasi pendapatan ekonomi masyarakat. Kekuatiran masyarakat akan kemubasiran budidaya nimba bisa ditepis berkat kedigdayaan nimba yang bersifat multifungsional. Justru karena itu, perbaikan dan peningkatan taraf hidup masyarakat bisa ditempuh lewat cara membudidayakan nimba. Nimba juga merupakan solusi tepat guna bagi para petani dalam meningkatkan produktivitas mereka sebab nimba bisa dijadikan sebagai bahan dasar pengolahan pupuk organik dan pestisida untuk membasmi hama penyakit tanaman. Budidaya nimba, karena itu, menjadi solusi membangun solidaritas dengan alam-lingkungan dan masyarakat petani Timor Barat. Hal ini mutlak perlu jika dikaitkan dengan konteks keadilan sebagai fairness (berkenaan dengan tanggung jawab kita atas hidup generasi di masa yang akan datang / keadilan lintas generasi).